Telat Puasa Syawal? Hukum Mengqadha bagi yang Belum Sempat

- 15 Mei 2021, 09:24 WIB
Ilustrasi, Hukum melakukan qadha puasa untuk mereka yang telat puasa syawal, bahwa menurut tiga mazhab ada ketentuan sendiri.
Ilustrasi, Hukum melakukan qadha puasa untuk mereka yang telat puasa syawal, bahwa menurut tiga mazhab ada ketentuan sendiri. //Pexels/Bongkarn
PR PANGANDARAN - Selepas bulan Ramadhan dan lebaran, puasa Syawal selama enam hari dianjurkan bagi umat muslim untuk menyempurnakan ibadah mereka.
 
Nabi bersabda, bahwa puasa Syawal selama enam hari seperti berpuasa setahun lamanya.
 
Namun terkadang, sesuatu hal yang tak terkira dapat menghambat niat puasa Syawal kita.
 
 
Maka timbulah pertanyaan jika telat puasa Syawal di awal bulan, dapatkah terkena qadha puasa?
 
Menurut mazhab Syafi’i, hukum puasa Syawal adalah sunnah dengan pelaksanaan yang terpisah atau terus menerus.
 
Artinya, puasa Syawal boleh dilakukan di awal, pertengahan atau di akhir bulan. 
 
Meski begitu waktu yang utama untuk melaksanakanya yakni tanggal 2 Syawal dan terus menerus hingga tanggal 7 Syawal.
 
 
Menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Tuhfah, Syekh Abdullah bin Muhammad Baqusyair dalam kitab al-Qalaid dan Syekh Abi Makhramah, hukum mengqadha puasa Syawal di bulan lain adalah sunnah.
 
Adapun puasa Syawal masuk kategori puasa sunnah al-ratib, yakni puasa sunnah yang memiliki waktu tertentu, baik mingguan, bulanan atau tahunan. 
 
Sebagaimana contoh disebutkan, yakni puasa Senin & Kamis, puasa Asyura (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), puasa di malam-malam purnama (tanggal 13, 14 dan 15 di setiap bulan Hijriah), puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya.
 
 
Pandangan tiga ulama besar mazhab Syafi’i di atas soal hukumnya mengganti puasa al-ratib di luar waktunya adalah sunnah, misalnya karena tidak sempat dilakukan sesuai waktunya.
 
Namun pandangan disampaikan ulama lain, menurutnya puasa al-Ratib tidak sunnah diqadha jika waktunya telah habis. 
 
Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur mengatakan: 
 
فائدة رجح في التحفة كالقلائد وأبي مخرمة ندب قضاء عاشوراء وغيره من الصوم الراتب إذا فاته تبعاً لجماعة وخلافاً لآخرين 
 
 “Sebuah faidah. Syekh Ibnu Hajar dalam kitab al-Tuhfah seperti keterangan Syekh Abdullah Baqusyair dalam kitab al-Qalaid dan Syekh Abi Makhramah mengunggulkan kesunnahan mengqadha puasa Asyura dan puasa al-Ratib lainnya bila telah habis melewati waktunya, pendapat ini mengikuti sekelompok ulama dan menyelisihi sekelompok ulama yang lain” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Dar al-Minhaj, juz 1, hal. 745).
 
 
Dalam khazanah fiqih, redaksi “al-ratib” diucapkan untuk tiga makna. 
 
Pertama, sesuatu yang mengikuti lainnya. Kedua, perkara yang pelaksanaannya bergantung pada perkara lain. Ketiga, perkara yang memiliki waktu tertentu (lihat Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 240). Dalam konteks puasa sunnah ratib, yang dikehendaki adalah makna ketiga. 
 
Menurut, Syekh Ibnu Hajar, Syekh Abu Makhramah dan Syekh Abdullah Baqusyair senada dengan pandangan Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli (Ramli Kabir), orang yang di bulan Syawal disibukan dengan mengqadha puasa Ramadhan dan tidak sempat berpuasa Syawal (secara khusus), maka disunnahkan mengqadha puasa Syawal di bulan Dzulqa’dah.
 
 
Karena menurutnya, disunnahkan mengqadha puasa sunnah ratib ketika habis waktunya.
 
Dalam komentarnya atas kitab Asna al-Mathalib, ayah Imam al-Ramli al-Shaghir tersebut menegaskan:
 
سئلت عن قول الدميري بعد قول النووي وستة من شوال يبقى النظر فيمن أفطر جميع رمضان أو بعضه وقضاه هل يتأتى له تدارك ذلك أم لا ما المعتمد فأجبت بأنه يستحب له بعد قضائه ما فاته من رمضان أن يصوم ستة أيام لأنه يستحب قضاء الصوم الراتب
 
“Aku ditanya perihal ucapan Imam al-Damiri setelah ucapan Imam al-Nawawi; dan enam hari dari Syawal. Tersisa sebuah perenungan/ kajian dalam permasalahan orang yang berbuka satu bulan penuh di bulan Ramadhan atau sebagiannya dan ia mengqadhanya di bulan Syawal, apakah mungkin baginya mengganti puasa Syawal di bulan berikutnya? Manakah pendapat yang dibuat pegangan?. Aku menjawab bahwa sunnah baginya berpuasa enam hari Syawal (di bulan berikutnya) setelah selesai mengqadha puasa Ramadhan (di bulan Syawal), sebab disunnahkan mengqadha puasa sunnah yang memiliki waktu tertentu” (Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Hasyiyah al-Ramli ‘ala Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 207).
 
Pandangan ini pun serupa dengan pendapat sebagian ulama yang dikutip oleh Syekh Khotib al-Syarbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj (lihat Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 184).***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: NU Online


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x