Hari Puisi Sedunia, Mengingat Kembali Sosok Chairil Anwar ‘Si Binatang Jalang’, Pelopor Puisi Indonesia Modern

21 Maret 2022, 11:27 WIB
Perjalanan Chairil Anwar, Dimusuhi kelompok penyair Lekra, Pelopor Sastra Modern Angkatan 45 /https://Kemdikbud.go.id/

PANGANDARAN TALK - Hari Puisi Sedunia yang jatuh pada hari ini, Senin 21 Maret 2022, mengingatkan kembali pada sosok Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia.

Chairil Anwar, penyair kelahiran 22 Juli 1922, Medan, Sumatra Utara ini mempunyai julukan “Si Binatang Jalang’ atas puisinya yang sangat popular berjudul ‘Aku’.

Chairil Anwar terkenal sebagai penyair yang hidup dan matinya tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia modern.

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar pada masa Belanda, yaitu Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Medan, kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang juga di Medan, sebuah sekolah setingkat dengan SLTP.

Baca Juga: Angin Segar Menghampiri Liverpool, Manchester City Menunggu di Semifinal

Namun Chairil Anwar tidak menamatkan sekolah MULO-nya Medan itu, yang hanya sampai kelas satu, karena pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Chairil Anwar kembali melanjutkan sekolah MULO.

Minat kuat di bidang sastra sudah ditunjukkannya sejak duduk di sekolah MULO, di mana Chairil Anwar sudah melahap buku-buku untuk tingkat HBS (Hogere Burger School).

Di Jakarta, Chairil Anwar hanya dapat mengikuti MULO sampai kelas dua. Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri (autodidak).

Kendati demikian, Chairil Anwar sangat tekun belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sehingga akhirnya ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing tersebut.

Baca Juga: Jurus Jitu Rahasia Merawat Bunga Mawar agar Tampil Cantik dan Menawan

Lalu, menjelmalah sosok Chairil Anwar yang hidup hanya dengan menggubah syair, mendapatkan uang dari hasil menulis sajak.

Pada bulan Januari sampai Maret 1948, Chairil Anwar bekerja menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Namun, karena merasa tidak puas, ia mengundurkan diri dari pekerjaan itu.

Dia kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai pengasuh rubrik kebudayaan "Gelanggang" bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin.

Chairil Anwar kemudian merencanakan untuk mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang bernama "Air Pasang" dan "Arena". Namun, rencana itu belum juga terwujud hingga Chairil Anwar meninggal dunia.

Baca Juga: Chord Gitar Dasar ‘Hati-hati Di Jalan’ – Tulus Paling Mudah Dimainkan

Dari perkawinannya dengan Hapsah, Chairil Anwar dikaruniai seorang anak yang bernama Evawani Alissa dipanggil Eva yang lahir pada tanggal 17 Juni 1947.

Sejak perceraian dengan Hapsah itu kesehatan Chairil Anwar menurun. Pada tanggal 23 April 1949 ia diopname di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena sakit paru-paru.

Lalu pada tanggal 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal dunia pukul 14.30. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan, dengan memperoleh perhatian besar dari masyarakat.

Karya-karya puisi Chairil Anwar dimulai pada tahun 1942 ketika ia mencipta sebuah sajak yang berjudul "Nisan".

Baca Juga: 10 Rekomendasi Ucapan Menyambut Bulan Ramadhan 2022 1443 H, Bisa Dibagikan di Whatsapps dan Medsos Lainnya

Chairil Anwar menulis sampai dengan akhir hayatnya, yaitu pada tahun 1949. Pada tahun 1949 itu ia menghasilkan enam buah sajak, yaitu "Mirat Muda", "Chairil Muda", "Buat Nyonya N", "Aku Berkisar Antara Mereka", "Yang Terhempas dan Yang Luput", "Derai-Derai Cemara", dan "Aku Berada Kembali".

Kesungguhan Chairil untuk mencipta didukung oleh kesungguhannya mempelajari sajak-sajak para pujangga terkenal dari luar negeri.

Istrinya, Hapsah, mengatakan bahwa jika Chairil Anwar berada di rumah, tidak ada lain yang diperbuatnya kecuali membaca, sampai di meja makan pun ia membawa buku, menyuap nasi sambil membaca.

Chairil Anwar menerjemahkan sajak De Laatste Dag Der Hollanders op Jawa karya Multatuli dengan judul "Hari Akhir Olanda di Jawa".

Baca Juga: Kisah Rara Sang Pawang Hujan untuk Ajang MotoGP Mandalika 2022, Berapakah Honornya? Pasti Penasaran

Chairil juga menerjemahkan sajak The Raid karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul "Kena Gempur". Sajak yang berjudul Le Retour de l'enfant prodigue karya Andre' Gide (Perancis) diterjemahkannya dengan judul "Pulanglah Dia Si Anak Hilang".

Menurut pengakuan Chairil Anwar sendiri, menulis sebuah sajak tidak dapat sekali jadi. Setiap kata yang ditulis harus digali dan dikorek dengan sedalam-dalamnya. Semua kata harus dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan kadang-kadang dibuang, yang kemudian dikumpulkan lagi dengan wajah baru.

Baca Juga: Semprotkan Air Ini Pada Aglonema, Dijamin Cepat Subur dan Berkilau

Dalam perjalanan kariernya sebagai penyair itu Chairil Anwar tidak sedikit mendapat tantangan. Dia mendapat tantangan dari Sutan Takdir Alisjahbana ketika Sutan Takdir Alisjahbana menolak penerbitan sajak Chairil di Pujangga Baru. Namun, Sutan Takdir Alisjahbana akhirnya mengakui kebesaran Chairil dan menyebut sajak-sajak Chairil sebagai "sambal pedas" yang "menikmatkan". 

Sajak-sajak Chairil Anwar itu terkumpul, antara lain Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus (1949); Aku Ini Binatang Jalang (1986)*

Editor: Fikri Mahendra

Sumber: Kemendikbud

Tags

Terkini

Terpopuler