PR PANGANDARAN – Saat ini banyak anak-anak yang menjadi kidsfluencer untuk menjadi terkenal.
Melihat tayangan dari kanal YouTube Narasi Newsroom, kidsfluencer yaitu anak-anak dengan banyak followers di media sosial.
Salah satu kidsfluencer yang terkenal yaitu Rafathar, putra dari pasangan selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.
Baca Juga: Wanita Kembar asal Inggris Diserang Buaya Ganas, Salah Satunya Berhasil Tinju sang Predator
Dengan terkenalnya Rafathar, kesehariannya menjadi konsumsi publik termasuk saat dijahili oleh orang-orang di sekitarnya yang sempat membuat heboh.
Meskipun kidsfluencer memperoleh sejumlah keuntungan seperti pendapatan dan popularitas tapi ternyata mempunyai risiko.
Salah satu risiko menjadi kidsfluencer yaitu adanya eksploitasi seperti hilangnya privasi serta psikologis para kidsfluencer dapat mempengaruhi psiko-sosial anak yang lainnya.
Baca Juga: Kembar 'Ekstrem' yang Bertunangan dengan Pria yang Sama Berencana Berbagi Bayi, Ini Kisahnya
Menanggapai maraknya kidsfluencer yang bermunculan, psikolog anak Dr. Rose Mini Agoes Salim turut buka suara.
“Manusia itu tumbuh dan berkembang terutama perkembangannya dipengaruhi oleh faktor nature dan nurture,” kata Dr. Rose Mini Agoes Salim dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com pada Minggu, 20 Juni 2021.
“Nature itu given by Allah. Nurture itu environment, gizi, stimulasi, dan sebagainya. Nah, kalau stimulasinya negatif terus, itu akan terekam,” sambungnya.
Sehingga rekaman yang diterima anak tadi suatu saat akan dikeluarkan dan orang tua jangan marah karena secara tak langsung yang memberikannya.
“Kita yang memancing kemarahannya sehingga dia selalu menyikapinya ketika ada orang seperti itu saya harus marah,” jelasnya.
Dr. Rose Mini Agoes Salim juga tak setuju dengan sikap orang dewasa yang seakan senang melihat anak kecil marah.
Apalagi jika di-prank atau dibohongi seperti yang banyak terjadi saat ini menurutnya tak usah dilakukan para orang tua.
“Biar dia belajar pengalaman sebenarnya. Kalau kita yang udah tua, kita tahu itu enggak beneran, pura-pura. Kalau mereka sedang direkam otak yang kosong, ini isi informasi-informasi. Informasi yang diisi, iniformasi yang bagus jangan informasi yang kurang bagus,” tutur Dr. Rose Mini Agoes Salim.
Secara tak langsung jika orang tua berbohong kepada anak-anak, maka anak tersebut akan menganggap jika dia juga bisa berbohong.
“Gak semua yang bisa dilakukan ke orang tua dilakukan ke anak. Dia juga bisa mengatakan, kalau saya diperlakukan itu, dia bisa meledek saya begitu, saya bisa juga melakukan hal tersebut,” ungkapnya.
“Dan mungkin dia lakukan itu ke anak-anak seusia dia, teman-temannya dan itu nanti berdampak pada perkembangan psiko-sosialnya,” tutup Dr. Rose Mini Agoes Salim.***