Dibandrol Rp14 Juta, Pakar Ungkap Praktik Jual-Beli Vaksin Covid-19 di Web Gelap

- 25 Januari 2021, 14:50 WIB
Ilustrasi vaksin. GSK tidak bergerak dalam pengembangan vaksin Covid-19,  melainkan hanya menawarkan teknologi kepada para peneliti mitra yang sedang melakukan proses mengembangkan vaksin.
Ilustrasi vaksin. GSK tidak bergerak dalam pengembangan vaksin Covid-19, melainkan hanya menawarkan teknologi kepada para peneliti mitra yang sedang melakukan proses mengembangkan vaksin. /Pixabay
PR PANGANDARAN - Meskipun di berbagai negara vaksin Covid-19 baru didistribusikan, tetapi pasar gelap daring (online) untuk vaksin palsu mulai bermunculan secara online. 
 
Para penjahat ini bergerak cepat untuk mencari keuntungan dari orang-orang yang mencari cara alternatif untuk memastikan diri untuk mendapatkannya secara cepat.
 
Peluncuran vaksin sendiri bukan sesuatu yang mudah. Distribusi yang lambat membjat orang tak sabar untuk mendapatkannyakarena khawatir tak dapat bagian. 
 
 
Hal ini pula yang meninggalkan celah bagi para pedagang gelap tersebut untuk mengeksploitasi masalah tersebut.
 
Ditambah, konsekuensi hukum yang ditimpakan pun cukup ringan dibanding keuntungan finansial yang didapatkan.
 
Di beberapa negara, hukuman akibat menjual obat palsu sama dengan hukuman produk palsu lainnya, seperti tas bermerek.
 
 
Pakar membongkar praktik jual-beli vaksin Covid-19 di web gelap
 
Bernard Leroy selaku Direktur Institut Internasional untuk Penelitian terhadap Pengobatan Palsu (IRACM) mengungkapkan harga yang mencengangkan untuk jual beli vaksin dari pasar gelap tersebut.
 
“Di web gelap, para penyelundup menjual vaksin (Covid19) dengan harga seribu dollar AS atau senilai sekitar Rp14 Juta (per buah,)” ujarnya. 
 
Nenurut Leroy, perdagangan obat palsu, termasuk vaksin mamiliki tingkat bahaya sekitar 20 kali lebih sedikit sekaligus 20 kali lipat lebih menguntungkan daripada perdagangan obat laon.
 
 
Ia pun menambahkabn bahwa perdagangan obat-obatan terlarang secara global mencapai sekitar 200 miliar dollar AS.
 
Tak hanya itu, Jeffrey Kemprecos, Direktur Komunikasi Urusan Pemerintah dan Akses Pasar untuk Teluk,  GlaxoSmithKline (GSK) mengatakan bahwa obat palsu, termasuk vaksin tersebut dapat beresiko kematian.
 
"Meracuni orang yang menggunakannya, gagal menghasilkan kekebalan atau penyembuhan, dan dalam kasus ekstrim, membunuh," ujarnya.
 
 
Kemunculan dan peredaran vaksin palsu di pasar global merupakan tanggapan atas permintaan yang tinggi dan pasokan yang rendah.
 
Kelompok kriminal ini pun mencari mangsa kebutuhan mendesak masyarakat akan vaksin dan obat-obatan yang disebabkan oleh pandemi yang menyebar ke seluruh dunia selama setahun ini.
 
“Selama tahun 2020, kejahatan transnasional terorganisir beralih ke obat-obatan palsu karena tidak begitu berbahaya,” tambah Leroy.
 
 
“Di dunia, hanya sekitar dua hingga tiga setengah persen orang yang mengonsumsi narkotika. Tapi, tentu saja, 100 persen penduduk membutuhkan obat," ujarnya menambahkan
 
Di Eropa, Europol telah mengidentifikasi penipuan terkait masker wajah, sarung tangan, peralatan medis, alat tes COVID-19, dan obat-obatan yang telah dibahas di masa lalu untuk membantu melawan COVID-19. Penipuan ini juga sekarang mulai mengarah pada harapan akan vaksin.
 
Pihak berwenang juga mengkhawatirkan kemungkinan geng kriminal menghalangi pengiriman vaksin yang sah dan kemudian menjualnya di pasar gelap untuk mendapatkan keuntungan.
 
 
“Rantai pasokan untuk distribusi domestik di negara-negara India, Mesir, Cina, Brasil, memiliki risiko pengalihan produk yang lebih tinggi,” ujar Prashant Yadav, dosen Kesehatan Global dan Pengobatan Sosial di Universitas Harvard.
 
Ia pun menambahkan, "Jika saya tahu pengiriman besar vaksin akan melalui bandara Mumbai, misalnya, itu harus memiliki banyak keamanan dan mungkin ada penyimpangan keamanan."
 
Di Eropa, penegakan hukum berfokus pada pemberantasan kejahatan terkait virus corona. Bahkan di sektor swasta, asosiasi transportasi memasukkan risiko keamanan ke dalam perencanaan pengiriman vaksin Covid-19.
 
 
Di AS, Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE) meluncurkan Operation Stolen Promise 2.0 pada awal Desember untuk mengidentifikasi dan mencegah produksi, penjualan, dan distribusi vaksin Covid-19 ilegal.
 
Namun, salah satu kendala utama dalam menghentikan aktivitas kriminal dengan obat-obatan 'palsu' ini,  termasuk vaksin Covid-19  ini  adalah tidak adanya mekanisme hukum untuk mengadili para pelaku pelanggaran. 
 
Ada kesepakatan di antara para ahli bahwa undang-undang tentang obat palsu dan di bawah standar, termasuk vaksin, harus disamakan dengan perdagangan obat.
 
 
Selain itu, produk palsu ini pun dapat menambah ketakutan dan keraguan orang untuk divaksin. Masalah terbssarnya, para ahli khawatir Aktivitas ini menghambat pandemi untuk berakhir dan kembali normal.
 
"Kejahatan terorganisir tidak peduli, mereka bisa menjual air asin sebagai vaksin," Leroy menyimpulkan.
 
Istilah 'palsu' ini sendiri digunakan untuk menjelaskan  produk medis palsu, dipalsukan, terdegradasi, dan kurang optimal, termasuk obat-obatan berlangganan, peralatan pelindung, dan vaksin, sebuah industri ilegal yang terus tumbuh.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Arab News


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah