Tak Sesuai Agama, Umat Islam Protes Soal Pemulasaraan Jenazah Covid-19 dengan Cara Kremasi di Sri Lanka

- 9 Februari 2021, 15:44 WIB
Ilustrasi jenazah covid-19 hilang dari dalam kuburnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan NTT, diduga dicuri.
Ilustrasi jenazah covid-19 hilang dari dalam kuburnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan NTT, diduga dicuri. /Pixabay/geralt

PR PANGANDARAN – Pemulasaraan berdasarkan protokol Covid-19 memang dapat menjadi salah satu bahan konflik di berbagai wilayah, termasuk bagi sebagian umat Islam di Sri Lanka ini.

Sekelompok umat Islam dan keluarga korban tersebut melancarkan pengaduan ke Komite Hak Asasi Manusia PBB (HRC) tentang kebijakan Sri Lanka yang melakukan kremasi yang dipaksakan terhadap semua orang yang dikonfirmasi atau dicurigai telah meninggal dengan Covid-19.

Hal ini membuat sebagian umat Islam di sana tidak terima dengan mengatakan itu melanggar hak-hak agama mereka dan menyebabkan "kesengsaraan yang tak terhitung".

Baca Juga: Terlalu Nekat! TikTokers Ini Oleskan Lem Gorilla pada Rambutnya hingga Sakit Kepala

Kasus yang mencari bantuan sementara diajukan atas nama keluarga oleh Dewan Muslim Inggris Raya dan dengan dukungan dari firma hukum Inggris Bindmans.

Pemerintah Sri Lanka diduga memberlakukan ratusan kremasi meskipun para ahli medis internasional dan Sri Lanka mengatakan tidak ada bukti bahwa Covid-19 dapat menular dari mayat.

Kelompok delapan pengadu mengakui dan menerima dalam klaim mereka bahwa dalam memerangi pandemi, “keputusan sulit harus diambil yang mengganggu hak-hak fundamental”.

Baca Juga: Aktor Russell Tovey Mengaku Gay, Sang Ayah Kaget hingga Paksa Suntik Hormon Penyembuh

Akan tetapi, mereka mengatakan pemerintah mengamanatkan pemulasaraan korban Covid-19 dengan kremasi tanpa memperhatikan keinginan keluarga atau keyakinan agama mereka.

Pelapor khusus PBB telah menulis dua kali kepada pemerintah Sri Lanka, yakni pada bulan April tahun lalu dan Januari tahun ini.

Mereka mendesak untuk menghormati keinginan mereka yang mencari penguburan, dan untuk mengakui bahwa pengabaian terhadap perasaan umat Islam dapat membuat mereka tidak menunjukkan jenazah. kremasi.

Baca Juga: Prank Pura-pura Jadi Perampok, YouTuber Timothy Wilks Tewas Mengenaskan Usai Ditembak

Berdasarkan ynag PikiranRakyat-Pangandaran.cm lansir dari The Guardian, diduga sebanyak 200 Muslim telah dikremasi di Sri Lanka. Pada bulan Januari, sebuah komite ahli Sri Lanka pada bulan Januari menerima bahwa penguburan diizinkan, tetapi pemerintah tidak mengambil tindakan.

Para pemohon, semuanya terkait dengan orang-orang yang telah dikremasi, mengatakan prosedur tersebut dilakukan tanpa persetujuan atau persetujuan mereka.

Dalam pengajuan bersama mereka untuk meminta bantuan sementara dari HRC yang berbasis di Jenewa, orang-orang tersebut mengklaim bahwa pemulasaraan tersebut bersifat sewenang-wenang.

Baca Juga: Rhoma Irama Minta Maaf ke Rakyat Usai Ridho Rhoma Ditangkap: Saya Telepon, Dia Malah Nangis-nangis

“Semua kremasi dilakukan dengan cara yang dipaksakan dan dipercepat secara sewenang-wenang, menghalangi anggota keluarga untuk mendapatkan kesempatan untuk menghormati kepercayaan agama dan budaya mereka. Hal ini hanya memperburuk kesedihan yang dialami setiap anggota keluarga dan komunitas mereka” ujarnya.

Mereka melanjutkan, "praktik penguburan, dan ritual serta praktik keagamaan terkait, adalah prinsip utama dari keyakinan Islam, keyakinan yang dipraktikkan oleh minoritas yang teraniaya di Sri Lanka."

Klaim tersebut menunjukkan bahwa pada 1 Januari 2021, Asosiasi Medis Sri Lanka (SLMA) mengeluarkan pernyataan yang mengkonfirmasi bahwa Covid-19 yang mati dapat dikuburkan karena “virus tidak mungkin tetap menular di dalam tubuh yang mati”, dan menambahkan bahwa ada tidak ada bukti ilmiah bahwa penguburan menimbulkan bahaya kesehatan masyarakat.

Baca Juga: Rhoma Irama Bersyukur Ridho Rhoma Ditangkap Polisi: Barangkali Sudah Overdosis!

Aktivis hak asasi manusia mengatakan kebijakan pemerintah mayoritas Buddha Sinhala adalah bagian dari serangan berkelanjutan terhadap komunitas Muslim Sri Lanka, yang merupakan 9% dari populasi.

Presiden, Gotabaya Rajapaksa, terpilih tahun lalu karena gelombang sentimen Buddha garis keras anti-Muslim, menyusul pemboman bunuh diri Paskah oleh militan Islam di gereja dan hotel mewah April lalu yang menewaskan 267 orang.

Kasus diskriminasi telah diajukan ke Mahkamah Agung Sri Lanka, tetapi permohonan awal ditolak. Kasus ini mungkin disidangkan lagi pada bulan Maret.

Baca Juga: Cek Fakta: Fadli Zon Dikabarkan Akan Tinggalkan Indonesia jika Tak Lagi di Gerindra, Simak Faktanya

Sebagai penandatangan perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik, Sri Lanka setidaknya secara teori diharapkan untuk mengikuti keputusan HRC.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x