PR PANGANDARAN - Seorang Profesor Harvard baru-baru ini panen kecaman usai mengklaim bahwa Jepang tidak memaksa wanita Korea dan lainnya menjadi budak seks selama Perang Dunia II.
Usai panen kecaman, Profesor Harvard itu memperbarui klaimnya bahwa para korban yang menjadi budak seks tentara Jepang selama Perang Dunia II sebenarnya adalah pelacur.
Adapun Profesor Harvard itu bernama J. Mark Ramseyer dari Harvard Law School, membuat klaim dalam kata pengantar untuk sebuah buku yang baru-baru ini diterbitkan tentang para korban yang menjadi budak seks tentara Jepang selama Perang Dunia II.
Dalam detailnya, dia bahwa militer Jepang tidak perlu secara paksa memobilisasi apa yang ia sebut sebagai pelacur dan hanya memiliki sedikit ruang untuk melakukannya.
Ditulis oleh Tetsuo Arima, seorang Profesor ilmu sosial di Universitas Waseda, buku itu diterbitkan pada 30 Juli menjelang Hari Pembebasan 15 Agustus Korea Selatan yang menandai pembebasan negara itu dari pemerintahan kolonial Jepang 1910-1945, yang telah lama menjadi sumber permusuhan historis antara negara tetangga.
Dalam kata pengantar berbahasa Jepang, Ramseyer juga mengatakan bahwa baru setelah Seiji Yoshida, seorang novelis Jepang, menerbitkan sebuah buku berjudul "Kejahatan Perang Saya" pada tahun 1983, klaim kerusakan oleh mantan budak seks mulai muncul.
Baca Juga: Usai Alvin Faiz Nikahi Henny Rahman, Unggahan Zikri Daulay Soal 'Close Friend' Jadi Sorotan
Buku itu memuat klaim Yoshida yang mengambil wanita Korea dari pulau Jeju untuk layanan seksual.
Ramseyer kemudian mengklaim bahwa perempuan, yang bekerja di rumah bordil militer untuk menghasilkan uang atau karena tekanan yang diberikan oleh ayah mereka, mulai mengklaim bahwa mereka dipaksa menjadi budak seks oleh tentara Jepang.
Artikel Rekomendasi