Berdasarkan dokumen persidangannya, beberapa target yang ditemukan Yeo di LinkedIn diminta menulis laporan untuk perusahaan konsultannya.
Baca Juga: Terduga Pertama Covid-19 Ditemukan, Bukannya Disembuhkan Kim Jong Un Justru Siap Beri Hukuman Berat
Perusahaan palsu ini diberi nama yang sama dengan perusahaan konsultan terkemuka di AS. Setelah mendapat laporan itu, ia mengirimkannya ke agen kontaknya di Tiongkok.
Mereka yang dihubungi Yeo salah satunya adalah seseorang yang bekerja pada program jet tempur F-35 Angkatan Udara AS yang sedang terlilit masalah keuangan.
Ada pula seorang perwira militer AS yang bertugas di Pentagon. Ia dibayar setidaknya 2.000 dolar AS (sekitar Rp 29 juta) untuk menulis laporan tentang dampak penarikan pasukan AS dari Afghanistan terhadap Tiongkok.
Baca Juga: Dinda Hauw Sebut Rizky Billar 'Fakboy Sudah Pensiun' dalam Unggahan Foto Terbaru 'Senyum Ibadah'
Dalam menemukan kontak seperti itu, Yeo, yang berbasis di Washington DC pada sebagian 2019, dibantu oleh sekutu tak terlihatnya, yakni algoritma LinkedIn.
Setiap kali Yeo melihat profil seseorang yang cocok dengan kebutuhan spionasenya, lalu algoritma akan menyarankan kontak baru dengan jejak pengalaman serupa.
Menurut dokumen pengadilan, Ponsel Yeo, Tiongkok memang memintanya mencari target yang sedang 'tidak puas dengan pekerjaan' atau 'mengalami masalah keuangan'.
Baca Juga: Atta Halilintar Murka atas Pelecehan Akun Bodong Mantan Aurel: Aku Lacak, Kontenin 'Nih Muka Mesum'
Editor: Ayunda Lintang Pratiwi
Sumber: Warta Ekonomi
Artikel Rekomendasi