Taliban Melarang Seluruh Anak Perempuan Afghanistan untuk Menempuh Pendidikan Tingkat Menengah

18 September 2021, 10:00 WIB
Taliban buka kembali sekolah namun hanya untuk murid laki-laki. /Reuters

PR PANGANDARAN - Jumat 17 September 2021, Taliban secara efektif melarang anak-anak perempuan dari pendidikan menengah di Afghanistan, dengan memerintahkan sekolah menengah dibuka kembali hanya untuk anak laki-laki.

Anak laki-laki akan kembali ke meja mereka minggu depan setelah absen satu bulan, sementara saudara perempuan mereka masih tetap akan di rumah.

Dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari The Guardian, Kementrian Pendidikan Taliban mengatakan sekolah menengah untuk anak laki-laki di kelas tujuh hingga 12 akan di mulai pada hari Sabtu 18 September 2021.

Baca Juga: Nick Kuipers Terlihat Berlatih Jelang Laga Kontra Bali United, Formasi Persib Bandung Kembali Utuh

“Semua guru dan siswa laki-laki harus menghadiri lembaga pendidikan mereka,” kata pernyataan itu. Masa depan anak perempuan dan guru perempuan, yang terjebak di rumah sejak Taliban mengambil alih, ridak dibahas.

Dekrit tersebut menjadikan Afghanistan satu-satunya negara di dunia yang melarang separuh penduduknya mengenyam pendidikan menengah.

Taliban baru-baru ini mengumumkan memperketat pembatasan terhadap perempua, bekas gedung kementrian urusan perempuan di Kabul telah diserahkan kepada kementerian yang baru dibentuk kembali untuk pencegahan kejahatan dan promosi kebajikan.

Baca Juga: FDA Rekomendasikan Suntikan Booster Vaksin Covid-19 untuk Orang Amerika Usia 65 Tahun ke Atas

Ini adalah penegak hukum yang ditakuti kelompok itu pada tahun 1990-an, dimana aturan yang sangat ketat. Mulai dari wanita dilarang keluar depan umum tanpa didampingi wali laki-laki dan juga aturan berpakaian yang sangat ketat yang melarang wanita tidak boleh mengenakan sepatu hak tinggi.

“Pendidikan dan literasi sangat dihargai dalam Islam sehingga Taliban tidak dapat melarang perempuan untuk bersekolah dengan alasan Islam, jadi mereka selalu mengatakan akan membukanya ketika keamanan membaik dan itu tidak pernah terjadi.

“Mereka tidak pernah membuka sekolah,” salah satu Direktur Jaringan Analis Afghanistan, yang bekerja di Afghanistan pada saat itu.

Baca Juga: Klasemen Sementara BRI Liga 1, Bali United dan Persib Bandung Saling Pepet

Taliban tampak agak lebih terbuka untuk pendidikan perempuan ketika mereka memerintahkan semua siswa sekolah dasar kembali ke kelas dan mengatakan perempuan bisa belajar untuk gelar, meskipun dalam sistem yang dibatasi oleh gender yang secara dramatis akan menurunkan jangkauan dan kualitas pilihan kaum perempuan.

Pemerintah Taliban sedang mencari pengakuan dana internasional, ketika Afghanistan berada di ambang kehancuran ekonomi dan sadar bahwa masyarakat internasional sedang mengamati perlakuannya terhadap perempuan secara khusus.

Meskipun demikian, para pemimpin telah secara efektif melarang mayoritas perempuan Afghanistan bekerja selama sebulan terakhir.

Baca Juga: Sopir Billy Syahputra 'Digaji Kecil' hingga Bekerja Rangkap jadi Taxi Online? Mantan Amanda Manopo Bereaksi

Alasan itu digunakan untuk mencegah perempuan bekerja selama periode lima tahun yang dikuasai kelompok itu di Afghanistan pada tahun 1990-an.

Sekarang sama seperti dulu, hanya beberapa perempuan di sektor kesehatan dan pendidikan yang kembali bekerja.

Namun, Taliban sekarang bertanggung jawab atas ibu kota dan sebuah negara, sangat berbeda dari kota yang dilanda perang ketika mereka ambil alih pada tahun 1996. Mereka mungkin akan menghadapi tekanan balik yang kuat dari para wanita dan banyak kepala keluarga di Afghanistan yang menginginkan perempuan dalam keluarganya mendapatkan pendidikan.

Baca Juga: Serangan Pesawat Tak Berawak di Kabul Tewaskan 7 Anak-anak, Militer AS: Itu Kesalahan Tragis

“Populasi yang mereka beri tantangan untuk mencoba memerintah telah berlipat ganda dan ekspektasi telah melambung tinggi dibandingkan dengan tahun 1996-an. Kami dapat mengantisipasi akan ada reaksi dan mungkin Taliban akan dipaksa untuk mundur tau mempertimbangkan beberapa perbedaan,” kata Prof Michael Semple dari Mitchell Institute of Global Peace, Security and Justice.***

Editor: Imas Solihah

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler