WHO 'Tercoreng' Usai Staf Lakukan Pelecehan Seksual kepada Wanita dan Anak Perempuan Selama Wabah Ebola Kongo

29 September 2021, 09:10 WIB
Logo Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). /Pixabay/padrinan/

PR PANGANDARAN - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengaku 'patah hati' setelah penyelidikan independen yang dilakukan mengatakan, sejumlah wanita dan anak perempuan mendapatkan pelecehan seksual dari staf WHO.

Menurut laporan itu, wanita dan anak perempuan mendapatkan pelecehan seksual oleh pekerja bantuan dari WHO selama wabah Ebola pada 2018-2020 di Republik Demokratik Kongo.

 

Temuan itu digambarkan sebagai 'Bacaan Mengerikan' oleh direktur Jendral WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Baca Juga: Messi Hadiahi 'Mantan' dengan Gol, Pep Guardiola Terima Kekalahan Man City atas PSG

Komisi tersebut, yang memeriksa sekitar 80 kasus pelecehan perempuan dan anak perempuan berusia 13 hingga 43 tahun, mengidentifikasi 21 karyawan yang bekerja untuk badan kesehatan global PBB diantara pelaku pelanggaran serius, termasuk sejumlah tuduhan pemerkosaan.

Menurut laporan itu, pelecehan seksual itu menyebabkan 29 kehamilan, dengan beberapa pelaku bersikeras bahwa perempuan tersebut melakukan aborsi.

Dikutip Pikiran-Rakyat-Pangandaran.com dari The Guardians, laporan itu menambahkan bahwa pelaku bekerja di WHO termasuk staf lokal dan internasional.

Baca Juga: Lirik Lagu When Your Tears Wet My Eyes - Ailee (OST Lovers of the Red Sky) dan Terjemahan Bahasa Indonesia

Sumber diplomatik barat mengatakan empat orang telah diberhentikan dan dua ditempatkan pada cuti administratif, berdasarkan pengarahan tertutup yang melibatkan WHO, yang diberikan kepada pejabat diplomatik di Jenewa pada hari Selasa.

Laporan tersebut merinci perincian tanggung jawab yang luas untuk melindungi terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual dalam keadaan darurat kesehatan di wilayah yang tidak aman, yang sebagian besar didominasi oleh responden laki-laki.

Para penyelidik menemukan bahwa sebagian besar korban sangat rentan, seringkali perempuan muda dalam situasi ekonomi yang genting, dengan beberapa pelaku memegang tanggung jawab untuk mencegah eksploitasi dan pelecehan seksual.

Baca Juga: Ikhtiar Cinta, Single Terbaru Arberic Band Asal Sumedang

“Maafkan saya, saya minta maaf atas apa yang dilakukan kepada Anda oleh orang-orang yang dipekerjakan oleh WHO untuk melayani dan melindungi Anda,” kata Tedros.

“Saya minta maaf atas penderitaan berkelanjutan yang harus ditimbulkan oleh peristiwa ini. Saya minta maaf karena Anda harus menghidupkannya kembali saat berbicara dengan komisi tentang pengalaman Anda. Terimakasih atas keberanian Anda melakukannya,” tambahnya.

Panel merilis temuannya pada hari Selasa, beberapa bulan setelah media melaporkan bahwa manajemen senior WHO telah diberitahu tentang beberapa klaim pelecehan pada tahun 2019 tetapi gagal menghentikan pelecehan tersebut dan bahkan mempromosikan salah satu manajer yang terlibat.

Baca Juga: Pfizer Kirimkan Data Uji Coba Penggunaan Vaksin Covid-19 untuk Anak Usia 5 hingga 11 Tahun

Tim peninjau berhasil mendapatkan identitas dari 83 tersangka pelaku, warga negara Kongo dan orang asing.

Dalam 21 kasus, tim menetapkan dengan pasti bahwa tersangka pelaku adalah karyawan WHO selama wabah Ebola.

Temuan komisi mengkonfirmasi laporan bahwa pekerja yang terlibat dalam upaya bantuan Ebola menuntut seks dengan imbalan kontrak kerja, mengancam mata pencaharian perempuan jika mereka menolak dan dalam kasus yang paling serius terlibat dalam serangan seksual.

Baca Juga: Perguruan Tinggi di Wilayah PPKM Level 1 hingga 3 Bisa Melakukan PTM Terbatas

Malick Coulibaly, seorang anggota panel, mengatakan selama konferensi pers pada hari Selasa, bahwa ada sembilan tuduhan pemerkosaan.

Para wanita yang diwawancarai mengatakan para pelaku tidak menggunakan alat kontrasepsi sehingga mengakibatkan beberapa kehamilan.

Beberapa wanita mengatakan, pria yang telah melecehkan mereka memaksa mereka untuk melakukan aborsi.

Baca Juga: Messi Tumbangkan Guardiola Lagi, Ada Reuni Barcelona di Laga PSG vs Man City

Pelecehan di DRC terjadi selama wabah Ebola, di provinsi Kivu Utara dan Ituri, daerah yang ditandai dengan ketidakstabilan politik dan konflik bersenjata di mana 2.280 orang tewas selama dua tahun.

Julie Londo, anggota persatuan Perempuan Media Kongo, sebuah organisasi perempuan yang bekerja untuk melawan pemerkosaan dan pelecehan seksual di Kongo, memuji WHO karena menghukum staf tetapi masih dibutuhkan lebih banyak lagi.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler