Bisa Deteksi hingga 3 Hari Sebelum Terjadi Gempa, Berikut Penjelasan Sistem Canggih dari Tim UGM

27 September 2020, 18:27 WIB
Early Warning System Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang terkoneksi ke ponsel. [Foto: UGM]. /

PR PANGANDARAN – Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi. Sistem itu diklaim mampu mendeteksi dan memberi peringatan gempa. Bahkan satu hingga tiga hari sebelum gempa tersebut akan terjadi.

"Dari EWS (Early Warning System) gempa algoritma yang kami kembangkan bisa tahu 1 sampai 3 hari sebelum gempa. Jika gempa besar di atas 6 SR sekitar 2 minggu sebelumnya alat ini sudah mulai memberikan peringatan," jelas Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM Prof Ir Sunarno, dalam keterangan tertulis pada Minggu, 27 September 2020, dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari rilis UGM.

Sistem yang dikembangkannya bersama tim sejak 2018 tersebut, lanjut Sunarni, bekerja berdasarkan perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah sebagai anomali alam yang timbul sebelum terjadinya gempa bumi.

Baca Juga: Banyak Masalah Ekonomi Terekspos ke Publik, Sri Mulyani: Nagih Utang Beda dengan Mengelola Utang

Ketika akan terjadi gempa di lempengan, maka didahului dengan munculnya fenomena paparan gas radon alam dari tanah yang meningkat signifikan. Permukaan air tanah pun akan naik turun secara signifikan.

Praktisnya, sistem tersebut dapat dengan mudah mengirimkan informasi dua indikator tersebut masuk ke handphone.

"Dua informasi ini dideteksi oleh alat EWS dan akan segera mengirim informasi ke handphone saya dan tim. Selama ini informasi sudah bisa didapat 2 atau 3 hari sebelum terjadi gempa di antara Aceh hingga NTT," ungkap Sunarno.

Baca Juga: Gelar Blusukan Online, Gibran Pakai Virtual Box Keliling Kampung Serap Aspirasi Warga

Selain dua indikator tersebut, sistem pengembangan dari alat EWS itu tersusun dari komponen-komponen seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data dan sumber daya listrik.

Tak sampai di situ, sistem pun memanfaatkan teknologi internet of thing (IoT) di dalamnya.

Sistem tersebut telah sukses memprediksi sejumlah gempa yang terjadi di tanah air. Misalnya ketika memprediksi gempa bumi di Barat Bengkulu M5,2 pada 28 Agustus 2020, Barat Daya Sumur di Banten M5,3 pada 26 Agustus 2020.

Baca Juga: Miris! Hadirkan Ribuan Orang dalam Gelaran Konser Dangdut, Kapolsek Tegal Dicopot dari Jabatannya

Kemudian gempa Barat Daya Bengkulu M5,1 pada 29 Agustus 2020, Barat Daya Sinabang Aceh M5,0 pada 1 September 2020, Barat Daya Pacitan M5,1 pada 10 September 2020, Tenggara Nagan Raya di Aceh M5,4 pada 14 September 2020 dan lainnya.

Sistem deteksi ini baru ada lima stasiun pantau/EWS yang tersebar di DI Yogyakarta yang dalam setiap 5 detik mengirimkan data ke server melalui IoT.

"Lima stasiun EWS ini masih di sekitar DIY. Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat /fokus," terangnya.

Baca Juga: Presiden Iran Tuduh Amerika Serikat Lagi-lagi Lakukan Hal 'Biadab' Gara-gara Ini

Menurut Sunarno, sistem tersebut dikembangkan sebagai mekanisme bentuk kesiapsiagaan masyarakat, aparat, dan akademisi demi mengurangi risiko bencana.

Oleh karena itu sistem tersebut akan terus dikembangkan. Sehingga dapat memprediksi waktu terjadinya gempa, lokasi koordinat episentrum gempa hingga magnitude gempa secara tepat.

Sebelumnya, masyarakat dihebohkan dengan penelitian soal potensi gempa yang mengakibatkan tsunami setinggi 20 meter di Selatan Jawa.

Meski baru potensi, masyarakat begitu khawatir, mengingat buruknya upaya pencegahan dan penanganan dampak bencana di tanah air.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: UGM

Tags

Terkini

Terpopuler