Hoaks atau Fakta: 40 Ribu Alat Rapid Test dari Tiongkok Bagian Rencana Pembunuhan Massal Ulama Jabar

8 Juli 2020, 12:58 WIB
Hoaks Terkait rapid Test untuk Pembunuhan Massal Ulama /Kominfo

PR PANGANDARAN – Beredar sbeuah tangkapan layar yang berisi tautan artikel dari salah stau situs media daring Indonesia berjudul “Menteri Australia: Alat Tes Corona Asal China Berbahaya” yang dimuat pada 9 April 2020.

Kemudian gambar tersebut dilengakapi klaim narasi bahwa dengan datangnya 40 ribu alat tes virus Corona Covid-19 oleh pemerintah merupakan bagian dari rencana pembunuhan massal.

Gambar tangkapan layar tersebut dibagikan oleh akun Facebook Ali Imron Imron pada 13 April 2020.

Baca Juga: Anies Baswedan Secara Diam-diam Minta Jatah 5 Persen Proyek Ancol, PDIP Sebut Keputusan Sepihak

Berikut bunyi narasi lengkapnya "Hati2 org jawa barat n sekitarxa. Ada 5000 ulama d jawa bara mao d tes covid19.pki itu kejii."

Adapun artikel berjudul "Menteri Australia: Alat Tes Corona Asal China Berbahaya" di situs terkait.

Menteri Australia yang dimaksud dalam artikel itu adalah Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton.

Menurut Dutton dalam artikel itu, pasukan perbatasan Australia telah menyita sekitar 300 unit alat pengujian Corona asal Tiongkok dan Hong Kong.

Baca Juga: Mitos atau Fakta: Kurang Tidur Dapat Menggandakan Risiko Kematian

"Ini termasuk 200 unit yang datang lewat kargo udara ke Kota Perth, Australia Barat, pada Maret," kata Dutton.

Tim PikiranRakyat-Pangandaran.com melakukan penelusuran dari berbagai sumber, sebanyak 40 ribu alat rapid test Corona memang akan didatangkan ke Indonesia.

Namun, pihak yang mendatangkan alat tersebut adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan pemerintah.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan pembelian alat rapid test itu menggunakan dana patungan dari para anggota DPR, bukan dana dari pemerintah ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca Juga: Bekukan Makanan Terakhir Almarhum sang Ibu, Mengahrukan Setelah 5 Tahun Rasanya Tetap Sama

Alat rapid test itu bakal digunakan untuk menguji anggota DPR dan keluarganya sebagai antisipasi karena banyak anggota DPR yang bepergian ke daerah.

Menurut Dasco, anggota DPR membeli alat rapid test dalam jumlah besar karena ada jumlah minimal pembelian.

"Pembelian itu ada jumlah minimalnya dan jumlah minimal itu melebihi daripada kebutuhan anggota DPR beserta keluarganya."

Karena itu, alat rapid test tersebut juga akan disumbangkan ke rumah sakit-rumah sakit dan pemerintah daerah yang membutuhkan.

Baca Juga: Diperkosa 8 Orang Secara Bergiliran, Gadis 16 Tahun Tewas dengan Luka di Mulut Rahim

Terkait klaim bahwa 5 ribu ulama di Jawa Barat akan dites Covid-19, terdapat alasan yang mendasar mengapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberlakukan kebijakan itu.

Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengatakan bahwa saat ini virus Corona menular melalui klaster-klaster baru.

Beberapa di antaranya adalah klaster acara di Sukabumi di mana terdapat 300 calon perwira yang dinyatakan positif Covid-19 melalui rapid test serta klaster tempat ibadah di Bogor yang menyebabkan tokoh agama meninggal akibat Covid-19.

Menurut Uu, pesantren juga berpotensi menjadi klaster baru penularan virus Corona.

Baca Juga: Hasil Penelitian Ungkap Depresi Salah Satu Faktor Kuat Kematian Wanita, Cegah dengan 5 Makanan ini

Pasalnya, para kiai atau sesepuh pesantren sering menerima tamu atau bersalaman dengan santri. Karena itu, mereka perlu dites "Kiai itu masuk kategori B, orang yang sering didatangi dan dikunjungi orang.

Terkait pernyataan Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton bahwa alat tes Corona dari Cina berbahaya, berdasarkan laporan The Canberra Times serta SBS, alat tes yang dimaksud adalah alat tes Corona rumahan atau buatan sendiri yang dijual secara daring atau online.

Dengan demikian berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi dalam unggahan akun Ali Imron Imron, bahwa didatangkannya alat tes virus Corona Covid-19 dari Cina adalah bagian dari rencana pembunuhan massal ulama di Jawa Barat, menyesatkan dan tidak mendasar.***

Editor: Evi Sapitri

Sumber: Kominfo

Tags

Terkini

Terpopuler