'10 Tahun Konflik Diselesaikan dalam Waktu Seminggu', PBB Amati Masa Depan Libya di Tengah Kegaduhan

- 16 November 2020, 19:05 WIB
Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu (tengah) dan Menteri Luar Negeri Malta Evarist Bartolo (kanan) berjalan di landasan pacu setelah mendarat di Tripoli, Libya, 6 Agustus 2020. (AA)
Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu (tengah) dan Menteri Luar Negeri Malta Evarist Bartolo (kanan) berjalan di landasan pacu setelah mendarat di Tripoli, Libya, 6 Agustus 2020. (AA) /

PR PANGANDARAN – Pembicaraan mengenai masa depan Libya telah ditunda. Hal ini dilakukan tanpa menyebutkan kemungkinan pemerintahan baru untuk mengawasi transisi pada pemilihan tahun depan.

Stephanie Williams, utusan PBB untuk Libya, mengatakan pada hari Minggu bahwa dia sangat senang dengan hasil pembicaraan dengan 75 delegasi yang dipilih oleh PBB untuk bertemu di Tunis.

Ia senang karena delegasi tersebut setuju untuk mengadakan pemilihan presiden dan parlemen pada 24 Desember mendatang.

Baca Juga: PBB Prihatin, Israel Kian Nyata Duduki Tepi Barat Palestina sehingga Berisiko Picu Kemarahan AS

"Mayoritas di ruangan tidak menginginkan status quo," kata Williams pada konferensi pers setelah pembicaraan berakhir.

“Ini bukan alternatif yang bisa diterima. Itu tidak berkelanjutan; semua orang tahu itu. Musim panas yang keras yang dilalui banyak orang Libya - tanpa listrik, dan sangat sedikit air dan semua kesulitan lainnya serta pandemi Covid-19,” ungkapnya sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari Aljazeera.

Utusan PBB tersebut mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Baca Juga: Begini Reaksi Rizwan Fadilah Anak Ketiga Sule saat Ketahuan Tolak Endorse Ratusan Juta

Para delegasi juga akan melanjutkan pembicaraan online minggu depan membahas reformasi struktur dan peran otoritas eksekutif.

Mereka juga akan membahas soal dasar konstitusional pemilu.

"Kami telah sepakat untuk berkumpul kembali dalam waktu sekitar satu minggu dalam pertemuan virtual yang menyetujui mekanisme seleksi untuk otoritas yang akan datang," kata Williams kepada wartawan.

Baca Juga: Dituding Bagi-bagi 'Amplop' untuk Mencuri Hati Warga Solo, Gibran Balas Celotehan Netizen Lewat IG

Tapi dia mengatakan tidak ada nama yang dibahas selama pertemuan di ibu kota negara tetangga Tunisia.

"Sepuluh tahun konflik tidak dapat diselesaikan dalam satu minggu," kata Williams.

Pembicaraan itu dilakukan sebagai bagian dari proses penciptaan perdamaian yang lebih luas bersama dengan gencatan senjata militer.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Shah Rukh Khan Baper Mendengar Lesti Kejora Menyanyikan Lagu Korea, Ini Faktanya

Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional dan Tentara Nasional Libya (LNA) yang dinamai Khalifa Haftar.

Sementara para pengamat mengkritik cara para delegasi dalam pembicaraan Tunis, serta meragukan pengaruh mereka.

Sejak 2014, negara itu telah terpecah antara faksi-faksi yang bersaing yang berbasis di Tripoli, pusat GNA, dan Libya timur, tempat berbasis LNA.

Baca Juga: Jaringan Baru Narkotika Aceh-Labuhan Batu-Dumai Terdeteksi, Aksi Adu Jotos Warnai Penangkapan

GNA muncul dari perjanjian politik yang didukung PBB pada 2015, tetapi ditolak oleh faksi timur.

Tahun lalu, Haftar melancarkan serangan LNA di Tripoli yang dibatalkan GNA pada bulan Juni dengan dukungan dari Turki.

LNA  sendiri didukung oleh Uni Emirat Arab, Rusia, dan Mesir.

Baca Juga: Aksi Brutal Dua Pelaku Begal Terjadi Lagi, Kini Anggota TNI yang sedang Bersepeda Jadi Korban

Jalel Harchaoui, seorang spesialis Libya di Clingendael Institute di Den Haag memperingatkan bahwa kepentingan asing dapat dengan mudah menggagalkan proses tersebut.

“Kesulitan terbesar PBB adalah adanya pangkalan militer permanen Turki dan Rusia serta perwira Emirat di lapangan,” katanya kepada kantor berita AFP.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah