Hampir 40 Tahun Cemari Lingkungan, Berikut Sejarah Pencemaran Industri Kulit Sukaregang Garut

17 September 2020, 22:15 WIB
Ilustrasi. ANTARA JABAR/Arif Firmansyah/agr/18 /

 

PR PANGANDARAN – Baru-baru ini pada Jumat, 11 September 2020 warga RW 18 Kampung Sumber Sari Kelurahan Regol, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut melakukan aksi protes di Jalan Achmad Yani.

Warga memprotes perihal pencemaran Sungai Ciwalen akibat limbah industri kulit yang tak kunjung ditangani secara sungguh-sungguh.

Menanggapi hal tersebut, Bupati Garut, Rudy Gunawan melakukan pengecekan aliran sungai pada 15 September 2020. Rudy mengatakan akan tegas terhadap perusahaan kulit di Sukaregang yang tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Baca Juga: Terungkap Penyebab Gedung Kejagung Terbakar, Ternyata Bukan karena Arus Pendek

“IPAL ini wajib, jadi hati-hati bagi perusahaan kulit di Sukaregang yang belum memiliki IPAL bisa masuk pada proses pidana, termasuk ditutup. IPAL yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat saat ini kondisinya tidak berfungsi, dan rencananya akan direvitalisasi,” ujar Rudy Gunawan.

Pencemaran akibat limbah industri kulit Sukaregang bukanlah hal baru. Dihimpun dari catatan berbagai sumber, ternyata pencemaran telah berlangsung sejak dekade 1980an.

Masalah pencemaran lingkungan akibat industri penyamakan kulit Sukaregang dimulai ketika para pengusaha penyamak mengganti teknik penyamakan dari proses biologis menjadi proses kimiawi.

Baca Juga: Pelaku Mutilasi Rinaldy Harley Wismanu Terungkap! Ternyata Sepasang Kekasih dan Kenalan Lewat Tinder

Sekitar tahun 1986/1987 Pemda Garut telah mencanangkan program relokasi. Program tersebut dipandang perlu mengingat pencemaran dari limbah industri kulit Sukaregang sudah di atas ambang batas.

Sayangnya hingga memasuki dekade 90an, rencana tersebut tak terwujud. Sebagian besar pengusaha kulit keberatan karena membutuhkan dana yang besar.

Memasuki tahun 1993, limbah industri kulit Sukaregang makin pekat seiring jumlah aktivitas produksi yang makin meningkat.

Baca Juga: Bongkar Motif Kasus Mutilasi di Kalibata City, Korban Ternyata Sempat Bercinta dengan Pelaku Wanita

Relokasi yang mandek membuat Pemda Garut mengeluarkan kebijakan revitalisasi. Pemda Garut mendorong para pengusaha Sukaregang untuk melengkapi instalasi penyamakan kulitnya dengan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL).

Hasilnya masih juga belum memuaskan. Tahun 2005, limbah industri penyamakan kulit Sukaregang terpantau mencemari lingkungan.

Terpantau timbulnya kekeruhan, busa dan bau yang menyengat di sepanjang Sungai Cikayambang, Cigulampeng dan Ciwalen.

Baca Juga: PSSI dan BNPB Teken MoU, Liga 1 dan Liga 2 Indonesia Siap Digulirkan di Tengah Pandemi

Beberapa tahun belakangan ini, warga yang habis kesabaran melakukan aksi protes dengan turun ke jalan.

Misalnya yang terjadi pada 21 September 2018. Warga tiga kampung, Sumbersari, Ciwalen dan Tanjung gelontorkan air limbah ke Jalan Achmad Yani. Bak sampah yang berada di pinggir jalan pun ikut ditumpahkan.

Pada 12 Mei 2019, warga sekitar lokasi yang sama dengan peristiwa sebelumnya memblokir Jalan Achmad Yani dengan barikade kayu dan bangku. Dilaporkan pula limbah industri kulit yang mencemari sawah warga.

Baca Juga: Pelanggar Protokol Kesehatan di Sumedang Makin Berkurang, Kepala Satpol PP Ucap Syukur

Pada 19 September 2019, sejumlah warga lima kampung dari tiga kelurahan memutuskan untuk menempuh jalur hukum.

Hingga peristiwa terakhir pada 11 September 2020, warga yang kesal karena tak kunjung ada perbaikan terhadap kondisi lingkungannya, melakukan aksi turun ke jalan lagi.

Mereka kembali menggelontorkan air limbah yang disedot oleh pipa dari sungai ke Jalan Achmad Yani. Selain menggulingkan bak sampah, mereka pun membakarnya.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: Pikiran Rakyat Facebook Bella Irana IPB ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler