Demo Massa Penolakan Omnibus Law Berpotensi Meningkatkan Virus Corona, Simak Penjelasan dari Ahli

- 9 Oktober 2020, 15:25 WIB
Personel kepolisian berusaha membubarkan pengunjuk rasa menggunakan water canon saat demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Aksi tersebut berakhir ricuh. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.
Personel kepolisian berusaha membubarkan pengunjuk rasa menggunakan water canon saat demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Aksi tersebut berakhir ricuh. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww. /WAHYU PUTRO A/ANTARA FOTO

PR PANGANDARAN – Dari sejak pertama kali virus corona melanda Indonesia, hingga kini pasien kasus virus corona belum memunculkan angka penurunan.

Dikutip oleh PikiranRakyat-Pangandaran.com dari Warta Ekonomi, Indonesia berada di urutan ke-2 di Asia dan ke-12 di dunia untuk penambahan kasus baru dalam 24 jam.

Indonesia melaporkan 4.850 kasus baru dengan total akumulasi 320.564 orang, angka ini membuktikan bahwa kasus virus corona di Indonesia masih meningkat.

Baca Juga: Jefri Nichol Ternyata Ikut Demo Tolak UU Cipta Kerja, Netizen: Aku Menemukanmu, Bang Jeff!

Sementara itu, baru-baru ini warga Indonesia sedang beramai-ramai melakukan aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang memunculkan banyak kerumunan di setiap daerah.

Hal itu, diperkirakan akan memicu penambahan kasus baru virus corona di Indonesia. Meski sempat diimbau untuk menerapkan protokol kesehatan, tetapi aksi pengunjuk rasa tidak ada yang menjamin tidak membawa virus tersebut.

Salah satu contoh di Daerah Istimewa Yogyakarta yang di ungkapkan oleh Dr Riris Andono Ahmad sebagai Ahli epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Baca Juga: Omnibus Law Disorot, DPR Panik dan Minta Pemerintah Gandeng Buruh Bahas Aturan Turunan UU Ciptaker

Ia menilai, aksi unjuk rasa yang melibatkan massa dalam jumlah besar memiliki risiko meningkatkan kasus penularan Covid-19 di tengah masa tanggap darurat di Yogyakarta.

"Saat Lebaran kemarin saja, tidak berapa lama ada peningkatan kasus padahal aktivitas kumpul-kumpul tidak terlalu besar. Bisa dibayangkan kalau kemudian interaksi dalam kerumunan terjadi sedemikian besar," kata Riris di Yogyakarta. 

Riris mengatakan, di dalam kerumunan massa sebesar itu tidak menutup kemungkinan para pengunjuk rasa dapat terkontaminasi dari virus.

Baca Juga: Jokowi Terkesan 'Hilang' Tak Temui Pendemo, Rizal Ramli: Jangan Kabur-kabur Dong, Katanya Pemberani

"Lalu siapa yang bisa menjamin mereka tidak kontak dengan permukaan yang terkontaminasi, lalu entah menyentuh mulutnya atau matanya dalam kerumunan yang sebegitu besar," kata dia.

Riris juga menyampaikan akan sulit untuk mengingat, dan melacak kontak erat yang dilakukan, saat berunjuk rasa yang terbukti terdapat kasus virus corona.

"Bagaimana mau tracing kalau kita tidak kenal orang di sekitar kita, kalau di pasar masih mungkin mengingat orang yang kontak, tetapi kalau di kerumunan sulit mengingat," kata dia.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: Warta Ekonomi


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah