Ternyata Ini Alasan Warga Suriah Pilih Mati di Rumah saat Terinfeksi Covid, Ketimbang Lapor Negara

7 Oktober 2020, 16:00 WIB
Potret aktivitas masyarakat Suriah di tengah pandemi Covid-19 dan konflik /Pikiran Rakyat

PR PANGANDARAN - Sejak kemunculan pertamanya pada Desember 2019 lalu, jumlah kasus terinfeksi Covid-19 masih dilaporkan sejumlah negara di dunia. Termasuk negara bagian Timur Tengah, Suriah.

Berdasarkan pantauan World Meters, kini angka positif dunia mencapai 36 juta, diantaranya 1 juta meninggal dunia dan 27 juta berhasil sembuh.

Amerika Serikat masih menapaki posisi pertama dengan jumlah angka terinfeksi paling banyak, disusul India dan Brasil di urutan kedua dan ketiga.

Baca Juga: Tak Gentar Usai Dipolisikan Relawan Jokowi, Najwa Shihab Siap Kupas Tuntas 'Mereka-reka Cipta Kerja'

Dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari Aljazeera, mayoritas warga Suriah yang terinfeksi Covid-19 justru memilih tewas di rumah dibanding melapor pada negara.

Hal itu diduga lantaran Suriah tengah dilanda konflik hampir satu dekade, hingga negara itu masih belum pulih sepenuhnya dari kehancuran.

Perang menyebabkan fasilitas publik termasuk rumah sakit banyak yang hancur.

Baca Juga: Kajian Urgensi Pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Tengah Lonjakan Kasus Positif Covid-19

Selain itu, tenaga medis juga terpaksa melarikan diri dari Suriah guna menghindari peperangan yang membahayakan nyawa mereka.

Akumulasi permasalahan itulah yang kini muncul saat pemerintah Suriah tengah berjuang mengendalikan penyebaran Covid-19.

Berdasarkan data worldometer, terdapat 4.411 kasus infeksi dan 207 kasus kematian akibat virus itu di Suriah.

Baca Juga: Waspada! Ternyata Indonesia Bakal Terdampak La Nina, BMKG: Curah Hujan Meningkat Capai 40 Persen

Namun, angka-angka tersebut diyakini bisa lebih besar di lapangan. Sebab, banyak pasien yang terinfeksi enggan melaporkan gejala terkait Covid-19.

Buruknya fasilitas medis dan karantina, serta desakan mencari nafkah mendorong orang yang terinfeksi merahasiakan kondisi mereka ketimbang harus menjalankan prosedur medis di lokasi yang sama sekali tidak layak serta terancam kehilangan penghasilan.

"Orang lebih suka mati daripada datang ke rumah sakit," kata Moustafa, seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di Damaskus dikutip dari Aljazeera.

Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Kabar Demokrat Pimpin Demo Omnibus Law dan Membiayainya, Simak Penjelasannya

Moustafa mengaku sering dimintai nasihat medis dari orang-orang. Sayangnya dia tidak bisa menemui mereka secara langsung karena mahalnya harga masker medis.

Di Suriah, masker medis yang harus diganti setiap harinya dijual paling murah 10 dolar AS (Rp147.000), sedangkan gaji seorang dokter di Suriah 188 dolar AS (Rp2,7 juta) per bulan.

"Ini terlalu mahal buat saya.""Bisa Anda bayangkan? Seorang dokter yang tidak mampu membeli masker yang bagus?," ujarnya.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Anak STM Bakal Demo di Depan Gedung DPR Tolak UU Cipta Kerja? Simak Faktanya

Di tengah kondisi serba pelik tersebut, banyak dokter yang menawarkan konsultasi medis secara online di laman Facebook.

Selain itu, banyak juga bermunculan bisnis yang menyewakan tangki oksigen kepada pasien untuk digunakan di rumah.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Aljazeera

Tags

Terkini

Terpopuler