Efek Islamophobia yang Meluas, Prancis Jadi Negara yang Gencar Pajang Kartun Nabi Muhammad SAW

27 Oktober 2020, 22:14 WIB
Majalah Charlie Hebdo cetak ulang karikatur kontroversial, atas nama kebebasan berpendapat atau Provokasi sia-sia? Sumber: akun Instagram resmi majalah Charlie Hebdo (@Charlie_Hendo_officiel) /

PR PANGANDARAN – Kasus pemajangan kartun Nabi Muhammad SAW oleh Pemerintah Prancis sempat menghebohkan pemberitaan dunia terkhusus bagi umat Islam.

Hal tersebut dianggap sudah menghina Nabi Muhammad SAW yang berujung pada kecaman keras dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terhadap Presiden Prancis Emmanuel Macron, lalu akhirnya menjadi perhatian dari Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha.

“Itu karena efek Islamophobia memang bisa sangat meluas," kata Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 26 Oktober 2020, dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari RRI.

Baca Juga: Pastikan Tak Ganggu Kelangsungan Hidup Komodo, Proyek 'Jurassic Park' di Pulau Rinca akan Berlanjut

Lebih lanjut, Arya mengatakan bahwa dalam persoalan terdapat relevansi teorisasi menurut Ahmet T. Kuru (2007) pernah menganalisa dua pola sekulerisme di beberapa negara yaitu sekularisme asertif serta sekularisme pasif.

Pola sekularisme asertif memang selalu memancing benturan antar peradaban.

"Prancis adalah salah satu negara yang dinilai masih mempraktikkan 'Assertive Secularism' yang bersikap agresif terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ranah publik," terangnya.

Baca Juga: Miliki Vibes Serupa Taeyeon SNSD, SM Entertainment Ungkap Member Pertama dari Aespa

Lanjut, meskipun sudah terbukti dalam pendekatan tersebut mengundang datangnya potensi benturan terhadap peradaban, kontroversi, serta kecaman, namun Macron masih mempertahankan pendekatan tersebut.

Menurutnya, Turki sebenarnya juga sudah pernah menerapkan 'Assertive Secularism'.

Namun, sejak masuk pemerintahan yang dipimpin oleh Erdogan sekarang ini Turki beralih menjadi 'Passive Secularism', artinya dalam studi AT Kuru lebih mendekat pada contoh cara Amerika Serikat yang memberikan ruang kebhinekaan, multikulturalisme dalam ekspresi praktik keyakinan keagamaan di ranah publik.

Baca Juga: Cari Kehidupan di Luar Bumi, LAPAN Siap Meneliti Planet Luar Angkasa dengan Anggaran Rp340 Miliar

Terakhir, Arya selaku Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) menyimpulkan bahwa Erdogan layak mengecam Macron.

Hal itu dikarenakan, Macron masih mempertahankan praktik sekularisme asertif yang anti terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ruang publik.

"Di tengah iklim multikulturalisme, liberalisme, juga kebebasan di Eropa, tentu saja Erdoğan layak mengecam Macron karena masih saja mempertahankan praktik sekularisme asertif yang anti, agresif, dan represif terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ruang publik," pungkasnya.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler