Trump Kalah Telak di Pilpres, Ini Rekam Jejak Kekecewaan Warga AS, Termasuk Kematian 236 Ribu Orang

9 November 2020, 08:10 WIB
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. /Instagram @realdonaldtrump/

PR PANGANDARAN – Kekalahan Trump dalam pilpres AS 2020 kali ini berangkat dari kebijakannya selama menjabat satu tahun terakhir sebagai Presiden meragukan rakyat Amerika.

Di bawah kepemimpinan Trump, Amerika dihadapkan dengan tiga krisis, yaitu infeksi virus corona yang memuncak dan mematikan, keruntuhan ekonomi yang terjadi kemudian, dan protes terhadap pembunuhan yang dilakukan polisi terhadap orang kulit hitam.

Sebagai Presiden AS, Trump memiliki kesempatan untuk menyatukan orang-orang dalam persuasi politik di tahun terakhir masa jabatan pertamanya yang penuh gejolak.

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Tentang Suami Kamala Harris, Duda Anak Dua hingga Pengacara Selebriti Media Hiburan

Namun sebaliknya, hampir di setiap momen penting, Trump berskeras pada apa yang bisa memicu perpecahan, menolak nasihat para ahli kesehatan, berpegang teguh pada prinsip dipeluk oleh pendukung garis kerasnya, dan mengejek bagi mereka yang tidak setuju.

Diketahui sebelumnya, Trump turun tangan dan mengambil alih terkait penangangan Covid-19, namun pada waktu yang sama enggan memberikan perhatian.

Hingga pada akhirnya orang-orang sibuk melindungi diri mereka sendiri dengan disinfektan sebagai perlindungan dari penyebaran virus corona. Namun Trump justru menyebut itu sebagai lelucon.

Baca Juga: Langkah Terakhir Donald Trump sebagai Presiden AS: Memberi Pengampunan hingga Menyerahkan Kekuasaan

Akibat pandemi Covid-19 yang terus melanda, perekonomian rakyat Amerika menjadi permasalahan utama.

Khawatir virus corona jangka panjang akan merusak ekonomi AS, dan menghalangi jalan baginya dalam pilpres, Trump meminta negara untuk kembali dibuka, dan menolak permohonan para ahli kesehatan dalam menerapkan lockdown.

Retorika Trump yang meremehkan Covid-19 pun berdampak buruk, virus mematikan tersebut kini telah menewaskan lebih dari 236.000 orang Amerika Serikat.

Baca Juga: Biden Janji Bakal Jadi Presiden bagi Pendukung dan Penentangnya, Begini Komentar Para Pemimpin Asia

Meskipun banyak orang menganggap Trump sebagai pengawas ekonomi yang kuat, namun mereka semakin kecewa dengan kebijakannya dalam menangani pandemi Covid-19.

Hal tersebut disampaikan Ahli Strategi Republik sekaligus pensihat kampanye Presiden Mitt Romney tahun 2012, Ryan Williams yang menyebut bahwa strategi Trump dalam pilpres AS tidak tepat sehingga mendapat sedikit suara di beberapa negara bagian.

“Jika dia telah menyerah dengan strategi yang koheren dan meyakinkan dalam menangani virus corona, dia benar-benar bisa membuat margin kecil sehingga kehilangan suara di beberapa negara bagian,” ujarnya.

Baca Juga: Semula Ogah Beri Selamat Karena Ini, Raja Salman Akhirnya Akui Kemenangan Biden, Apa yang Terjadi?

“Alih-alih menangani pandemi dengan mendengarkan nasihat dari penasihat terbaiknya, namun Trump telah menggandakan nalurinya sepanjang hidupnya,” lanjut Williams.

Kemudian saat terjadi peristiwa pembunuhan George Floyd (seorang berkulit hitam) oleh polisi Minneapolis, banyak orang Amerika yang tidak terima terkait hal tersebut.

Dalam luapan kemarahan dan keputusasaan yang luar biasa, sebagian besar rakyat Amerika melakukan aksi unjuk rasa di seluruh negeri untuk menuntut keadilan rasial.

Baca Juga: Idap Stroke hingga Sempat Jalani Masa Tahanan 3 Tahun, Kepergian Gatot Brajamusti Buat Parfi Berduka

Akan tetapi, Trump sebagai Presiden justru tidak menunjukkan solidaritas atau bahkan minat untuk mengetahui penyebab pembunuhan George Floyd tersebut.

Saat terjadi aksi unjuk rasa di taman sebrang Gedung Putih, Trump malah menggunakan kekerasan untuk menghentikan aksi para demonstran.

Alih-alih berfikir jika pesan hukum dan ketertiban dapat diselesaikan dengan kekerasan. Namun sebaliknya, para demosntran jutru semakin menunjukkan amarahnya dengan menyulutkan api sebagai tanda ketidakpuasan dan tidak adanya keadilan dari kebijakan Trump sebagai orang nomor satu di Amerika.

Baca Juga: Pengacara Minta Polisi Panggil 'Pemain' Video Syur Mirip Gisel: Cocokan dengan Postur Tubuhnya

Dalam hal ini, kepemimpinan Trump sebagai Presiden pada akhirnya membuat mayoritas rakyat Amerika yakin bahwa Trump bukan orang yang tepat untuk memimpin kembali Amerika sebagai negara maju.

Bahkan setelah outlet media mengumumkan Biden sebagai pemenang pilpres AS pada Sabtu, 7 November 2020 beberapa waktu lalu, Trump menolak untuk menyerah.

Trump bersikeras menganggap jika dalam pemungutan suara di beberapa negara bagian telah terjadi kecurangan hingga menyebut adanya penipuan. ***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Reuters

Tags

Terkini

Terpopuler