Santer Isu Presidential Threshold Dihapus, Refly Usulkan Gatot dan Moeldoko yang 'Kebelet' Nyapres

6 Oktober 2020, 14:55 WIB
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun.* /Tangkapan layar YouTube Refly Harun./

PR PANGANDARAN - Presidential threshold merupakan ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.

Besaran yang harus diperoleh yaitu, 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional.

Kini, isu penghapusan presidential threshold tengah menjadi bahan perbincangan banyak pihak, hingga Mahkamah Konstitusi (MK) segera membahas kelanjutan pengujian ketentuan presidential threshold ini.

Baca Juga: Sulit Mengajari PR Matematika, Pria 45 Tahun Ini Terkena Serangan Jantung Usai Memarahi sang Anak

Ahli hukum tata negara Refly Harun menilai jika presidential threshold dihapus, peluang bagi banyak tokoh terbuka lebar, termasuk Gatot Nurmantyo dan Moeldoko, untuk bertarung dalam Pilpres 2024.

Dikutip dari Warta Ekonomi pada 6 Oktober 2020, Refly Harun mengulas berita berjudul ‘Gatot Nurmantyo dan Moeldoko Dinilai Sama-Sama Kebelet Nyapres’.

Menurut Refly, dia menginginkan dua orang itu menjadi calon. Bahkan, bila perlu calon presiden di Indonesia ada 15 orang.

Baca Juga: Cek Fakta: Tersiar Kabar Aksi Mogok Nasional Buruh Tolak Omnibus Law Dibatalkan, Simak Faktanya

Refly mengatakan jika ingin melihat banyak capres yang bertarung, presidential threshold harus dihapuskan.

"Kalau presidential threshold dihapus seperti yang sering saya singgung selama ini, maka sesungguhnya orang seperti Moeldoko bisa nyalon, Nurmantyo bisa nyalon, Anies bisa nyalon, Ganjar bisa nyalon, Ridwan Kamil bisa nyalon, kemudian Prabowo bisa nyalon, bahkan Puan Maharani," jelasnya.

Ia juga mengatakan bahwa calon-calon terbaik untuk negeri ini dibutuhkan yang benar-benar menempuh cara terbuka dan demokratis.

Baca Juga: DPR Sahkan Omibus Law RUU Cipta Kerja, Netizen Protes: Astaghfirullah Kamu Berdosa Banget

Tidak hanya berkualitas, tetapi juga terhindar dari kegiatan percukongan, dan membeli partai politik, bukan dengan vote buying.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Warta Ekonomi

Tags

Terkini

Terpopuler