Aturan Taliban Timbulkan Dilema Lembaga Bantuan Perihal Moral dan Fiskal

25 Agustus 2021, 11:15 WIB
Peneliti menyebut kembalinya Taliban mengakibatkan Afghanistan menjadi lokasi sangat berbahaya bagi perempuan. /Reuters

PR PANGANDARAN - Ketika pemerintah asing, lembaga bantuan dan perusahaan berebut untuk mengevakuasi staf dari Afghanistan, sebuah pertanyaan penting muncul:

Haruskah mereka terlibat dengan Taliban yang berkuasa atau meninggalkan investasi bertahun-tahun di negara itu dan 38 juta warga Afghanistan?

Dalam seminggu terakhir, Taliban telah menjanjikan hubungan damai dengan negara-negara lain, hak-hak perempuan dan media independen.

Baca Juga: Bangun 'Kepercayaan Marxis', Tiongkok akan Masukan 'Pemikiran Xi Jinping' ke Kurikulum Nasional

Namun, beberapa mantan diplomat dan akademisi mengatakan kelompok militan Islam yang tertera pada media lebih memahami Taliban di era 1990-an karena memiliki kebrutalan yang sama.

Yakni, Taliban melarang wanita bekerja, gadis-gadis dari sekolah dan membunuh pembangkang mereka di depan umum.

Bahkan, menampung al Qaeda, yang merencanakan 11 September 2001, membajak serangan pesawat di New York dan Washington yang memicu invasi pimpinan AS.

Baca Juga: PM Inggris Sebut G7 Setuju Taliban Harus Mengizinkan Keberangkatan Setelah 31 Agustus 2021

Bagi lembaga bantuan asing, situasi ini menghadirkan "sebuah paradoks," kata Robert Crews, seorang profesor sejarah Universitas Stanford dan penulis buku "Afghan Modern: The History of a Global Nation" pada tahun 2015.

"Jika Anda seorang pekerja bantuan di rumah sakit negara, Anda melayani rezim yang legitimasinya seimbang," katanya. "Tetapi jika semua orang pulang, apakah negara akan runtuh?"

Dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari laman Reuteur, 25 Agustus 2021, Duta Besar untuk Afghanistan pada 2015 dan 2016, Michael McKinley mejelaskan, anggaran pemerintah Afghanistan 70% hingga 80% didanai oleh donor internasional, termasuk Badan Pembangunan Internasional AS (USAID).

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 25 Agustus 2021: Gagal Selamatkan Reyna, Andin Kecewa pada Aldebaran

Negara ini menghadapi keruntuhan ekonomi tanpa bantuan tersebut.

"Taliban akan membutuhkan pendanaan luar yang substansial, kecuali mereka mundur pada yang mereka lakukan sejak 1996 hingga 2001,

yang pada dasarnya menjalankan pemerintah ke tingkat yang minimalis," kata McKinley, dan saat ini dengan konsultan Cohen Group, tidak memberi mereka jalan untuk tetap berkuasa."

Baca Juga: Tiup Lilin Ulang Tahun ke-37, Hendra Setiawan Justru Ingin ke Olimpiade Paris 2024 di Usia 40 Tahun?

Menurut Ahli Pengembangan di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, Dabiel Runde, Kegagalan internasional untuk terlibat dengan Taliban dapat menyebabkan krisis yang lebih besar, dan beberapa memperingatkan.

"Akan ada godaan besar untuk menarik steker dan pergi begitu saja, tetapi kami melakukannya pada tahun 1989 dan 9/11 terjadi 12 tahun kemudian," paparnya.

Sementara, pemerintah asing dan kelompok bantuan mengevakuasi ribuan orang, mereka meninggalkan miliaran dolar untuk proyek-proyek yang masih perencanaan, sebagian besar melalui Dana Perwalian Rekonstruksi Afghanistan.

Baca Juga: WHO: Hampir 1,3 Miliar Orang Seluruh Dunia Menderita Hipertensi karena Obesitas

Berdasarkan laporan 30 Juli, Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan menunjukan bahwa, Amerika Serikat telah mengalokasikan $145 miliar untuk rekonstruksi Afghanistan sejak tahun 2002.

Bank Dunia menyumbang lebih dari $2 miliar untuk mendanai 27 proyek aktif di Afghanistan, dari hortikultura hingga sistem pembayaran otomatis, bagian dari lebih dari $5,3 miliar yang telah dikeluarkan oleh pemberi pinjaman pembangunan untuk rekonstruksi negara itu.

Pada Selasa, 24 Agustus 2021, Bank mengatakan telah menghentikan pencairan dalam operasinya di Afghanistan dan memantau situasi dengan cermat.***

Editor: Imas Solihah

Sumber: Reteurs

Tags

Terkini

Terpopuler