Muslim Sri Lanka Alami Gejolak Batin Dahsyat, Kini Jenazah Covid-19 Wajib Dikremasi

- 17 Desember 2020, 13:25 WIB
Upacara kremasi jenasah terlantar di Krematorium taman Mumbul. 30 jenasah yang tersimpan sejak tahun 2017 hingga 2020 di RSUP Sanglah dikremasi Senin-Selasa 10 November 2020
Upacara kremasi jenasah terlantar di Krematorium taman Mumbul. 30 jenasah yang tersimpan sejak tahun 2017 hingga 2020 di RSUP Sanglah dikremasi Senin-Selasa 10 November 2020 /Dok Humas RSUP Sanglah

PR PANGANDARAN – Seorang ahli HAM PBB mengecam pengumuman Maladewa yang mengatakan bahwa muslim Sri Lanka yang meninggal karena Covid-19 akan dikubur dengan cara kremasi.

"Langkah seperti itu bisa berakhir dengan memungkinkan marjinalisasi lebih lanjut komunitas Muslim di Srilanka,” katanya.

Pernyataan Ahmed Shaheed, pelapor khusus PBB untuk kebebasan berkeyakinan, muncul di tengah meningkatnya kritik terhadap aturan pemerintah di Sri Lanka yang mayoritas beragama Buddha yang mengamanatkan siapa pun yang meninggal karena COVID-19 harus dikremasi.

Baca Juga: Seolah Acuh dengan Skandal Video Syur Mirip Dirinya, Gisel Ramai Disebut 'Muka Tembok' oleh Netizen

Sebagaimana diketahui kremasi merupakan tindakan yang dilarang dalam islam.

Maladewa, sebuah negara Muslim Sunni, turun tangan dengan mengirimkan Menteri Luar Negeri, Abdulla Shahid kepada Rajapaksa untuk memfasilitasi pemakaman Islam bagi muslim Maldewa di Sri Lanka.

"Bantuan ini akan menawarkan penghiburan bagi saudara-saudara Muslim Sri Lanka kami yang berduka atas penguburan orang yang dicintai," kata Shahid melalui tweetnya.

Baca Juga: Sadis! Selebgram Cantik yang Bunuh dan Mutilasi Ibu Kandung Pakai Pisau Dapur Tertawa di Pengadilan

Namun menurut ahli hak PBB mengatakan bahwa tindakan Maldewa terhadap Rajapaksa mengkhawatirkan.

"Sepertinya permintaan itu tidak datang dari komunitas Muslim atau dengan persetujuan mereka, dan pada akhirnya bisa memungkinkan peminggiran lebih lanjut komunitas Muslim di Sri Lanka," kata Shaheed.

Sementara diketahui, di Sri Lanka sebanyak 10 persen dari 21 juta penduduk merupakan muslim.

Baca Juga: Ustaz Yusuf Mansur Sebut Hidupnya Seperti Baterai 10 Persen: Belajar Tengkurep Aja Dua Kali

Sejak berakhirnya perang berdarah selama puluhan tahun antara separatis Tamil dan militer pada 2009, muslim menghadapi permusuhan yang meningkat dari nasionalis Buddha Sinhala.

Kelompok garis keras menuduh Muslim memiliki tingkat kelahiran yang tinggi dan memaksa orang untuk masuk Islam untuk mengurangi mayoritas Buddha Sinhala di Sri Lanka, yang merupakan 70 persen dari populasi negara itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, Biksu Buddha garis keras  menargetkan rumah dan bisnis Muslim, serta tempat ibadah mereka.

Baca Juga: Bunuh Majikan Sendiri, Begini Sisi Lain Pelaku yang Tidak Diketahui, Ternyata Sejak Umur 12 Tahun...

Permusuhan meningkat setelah serangan bunuh diri mematikan di gereja dan hotel pada April 2019 yang diklaim oleh kelompok ISIS.

Pemerintah Sri Lanka memberlakukan kebijakan kremasi pada Maret, dengan mengatakan virus corona dapat mencemari air bawah tanah.

Tindakan itu menuai kritik dari PBB dan kelompok hak asasi, serta politisi oposisi di Sri Lanka.

Baca Juga: Baru Melahirkan, Anjing Ini Justru Dipukul Warga, Tim Kesehatan Beberkan Kronologinya

Sementara itu pemerintah Maladewa telah turun tangan untuk memfasilitasi penguburan muslim di Sri Lanka.

“Karena mereka terpecah menjadi pulau-pulau, dan tidak menghadapi masalah yang sama seperti kita,” katanya.

“Pemerintah Maladewa telah menawarkan untuk menguburkan mayat di salah satu pulau mereka. Kami tidak tahu seberapa praktis ini sampai kelayakan dilakukan. Opsi praktis belum dieksplorasi. Hanya dengan begitu kita bisa tahu apakah ini akan terjadi atau tidak,” lanjutnya.

Baca Juga: Kerap Bikin Malu dan Menyusahkan, Donald Trump Diusir Tetangganya dari Mar-a-Lago

Pemerintah Maladewa mengatakan konsultasi dengan  Rajapaksa dilakukan melalui panggilan telepon dengan Ibrahim Mohamed Solih terus berlanjut.

"Kami sedang mempertimbangkan apa yang akan menjadi tanggapan yang tepat dan manusiawi," kata Ibrahim Hood.

Mohamed Shaheem Ali Saeed, mantan menteri Urusan Islam mengatakan Maladewa harus membantu Muslim Sri Lanka jika hak-hak mereka ditolak.

Baca Juga: Anjing Jenis Ini Bisa Deteksi Covid-19 Akurat 100 Persen, Ilmuwan Beberkan Hasil Penelitian

"Mayat Muslim tidak boleh dikremasi,” katanya lewat tweet.

Di ibu kota Sri Lanka, Kolombo, seorang pria Muslim mengatakan bahwa dia menganggap kebijakan kremasi pemerintah Rajapaksa bermuatan rasial.

Mohideen, yang bibinya dikremasi setelah dia meninggal karena COVID-19 memberikan kesaksian.

Baca Juga: Kalina Oktarani Ungkap Sikap Asli Vicky Prasetyo di Belakang Kamera: Romantisnya Kalau Dibayar Doang

“Pemerintah telah menjadikan ini masalah politik dan sekarang orang Sinhala berpikir bahwa jika kami diizinkan penguburan, itu akan menjadi kekalahan politik bagi mereka,” katanya.

NFM Fahim, yang bayinya berusia 20 hari juga dikremasi minggu ini, mengatakan dia sangat terpukul oleh tindakan tersebut.

"Saya tidak tega menerima abu," kata pria berusia 38 tahun itu.

Baca Juga: Cek Fakta: Tunggakan BPJS Kesehatan Bisa Langsung Lunas Hanya dengan Bayar 6 Bulan, Ini Faktanya

 “Luka saya akan mulai sembuh hanya jika mereka mengakhiri kremasi paksa,” lanjutnya.

Fayaz Joonus, menyebut kebijakan tersebut menyedihkan dan traumatis.

"Sri Lanka adalah satu-satunya negara di dunia yang memaksa Muslim untuk mengkremasi orang mati," katanya.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah