Usai Trump Salahkan Tiongkok atas Pandemi Covid-19, Isu Rasisme Meningkat, Dapatkah Terapi Redakan Trauma?

- 29 April 2021, 20:10 WIB
Usai Donald Trump salahkan Tiongkok atas pandemi Covid-19 yang memunculkan isu rasisme, kini dapatkah terapi redakan trauma itu.*
Usai Donald Trump salahkan Tiongkok atas pandemi Covid-19 yang memunculkan isu rasisme, kini dapatkah terapi redakan trauma itu.* /REUTERS/Kyaw Soe Oo

PR PANGANDARAN – Donald Trump diketahui menyalahkan Tiongkok atas pandemi Covid-19.

Beriringan dengan retorika Donald Trump tersebut, marak ditemui isu rasisme yang menyerang warga Amerika Serikat yang berdarah Tiongkok.

Hal ini menyebabkan orang-orang Asia khususnya Tiongkok mengalami trauma atas diskriminasi yang disebabkan retorika Donald Trump tersebut.

Baca Juga: Akhirnya Terbongkar Isu Babi Ngepet Depok Cuma Hoaks, Pelaku Penyebarnya Ustaz Tokoh Agama Setempat

Salah satu teknik yang dianggap dapat meredakan trauma tersebut adalah dengan melakukan terapi.

Dikutip PikiranRakyat-Pangandaran.com dari Reuters, konselor kesehatan mental Tiongkok-Amerika Monica Band mengaku mendapatkan banyak panggilan.

Hal ini terjadi usai mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mulai menyalahkan Tiongkok atas pandemi Covid-19.

Pusat Studi Kebencian dan Ekstremisme melacak peningkatan kejahatan rasial terhadap orang Asia-Amerika sebesar 149% pada tahun 2020 di 16 kota besar dibandingkan tahun 2019.

Baca Juga: Cek Fakta: Eks Petinggi FPI Munarman Ditembak Polisi karena Melawan Saat Ditangkap, Ini Faktanya

Hal ini meningkat setelah retorika yang menyalahkan Tiongkok atas pandemi yang dimulai di negara itu.

Jumlah orang yang mencari bantuan juga terus meningkat, sementara konselor yang merawat mereka terbatas.

Dari sekitar 3.700 orang Amerika keturunan Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik yang disurvei oleh psikolog Universitas DePaul Anne Saw, 75% mengatakan mereka percaya Amerika Serikat menjadi lebih berbahaya bagi mereka.

Dari 421 orang yang setuju untuk diwawancarai tentang insiden rasis yang mereka alami dan melaporkan ke grup Stop AAPI Hate, 95% mengatakan Amerika Serikat menjadi lebih berbahaya.

Baca Juga: India Terperosok dalam Tsunami Covid-19, Kesaksian Relawan: Tengah Malam, Orang Menangis Minta Oksigen

Sekitar 40% dari 421 responden Stop AAPI Hate mengatakan bahwa mereka pernah mengalami setidaknya satu gejala stres traumatis berbasis rasisme, termasuk depresi, kewaspadaan berlebihan, kemarahan, pikiran mengganggu, dan harga diri yang rendah.

"Kami melihat sejumlah orang mengalami depresi kecemasan, gejala trauma rasial yang belum pernah kami lihat sebelumnya," kata Saw.

Tetapi trauma yang disebabkan oleh serangan rasis atau rasisme tidak memiliki diagnosis kesehatan mental formal.

"Jika suatu fenomena tidak dinamai, umumnya tidak dikenali, dan bila tidak dikenali, itu tidak diobati," kata terapis dan penulis New York Kenneth Hardy, pelopor di bidang trauma rasisme.

Baca Juga: Tak Tega, Ahli Tarot Nangis Ramal Anak Awak KRI Nanggala 402 yang Kunci Ayahnya: Dia Tahu akan Kehilangan

Terapis Connecticut Danielle Spearman-Camblard mengatakan dia ingin diagnosis trauma rasial ditambahkan ke Manual Diagnostik dan Statistik psikiatri.

Robert Carter, psikolog Universitas Columbia yang memimpin upaya untuk mendidik para profesional kesehatan mental tentang dampak rasisme, mengatakan cedera yang disebabkan rasisme harus diobati.

Namun dia mengatakan orang yang terkena dampak rasisme tidak sakit jiwa, dan tidak boleh terkena stigma yang bisa menyertai diagnosis.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: REUTERS


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x