Bongkar Misteri di Balik Demo Pemuda Thailand hingga Salam Tiga Jari ala Hunger Games Kompak Dipakai

17 Oktober 2020, 14:00 WIB
Ilustrasi salam 3 jari yang digunakan pengunjuk rasa di Thailand yang sebagian besar pemuda //*Twitter /

PR PANGANDARAN - Kemunculan tagar WhatsHappeningInThailand bersamaan dengan sebaran potret kerusuhan di sana, membuat warganet dunia penasaran.

Setelah dilakukan penelusuran PikiranRakyat-Pangandaran.com dari berbagai sumber, ditemukan sebuah alasan di balik trendingnya tagar tersebut sejak Jumat, 16 Oktober 2020 kemarin.

Tagar itu muncul usai aksi demontrasi rakyat Thailand menyuarakan ketidakadilan atas terpilihnya perdana menteri, Prayuth Chan-ocha.

Baca Juga: Kekurangan Personel, Depok Buka Rekrutmen Relawan Pemulasaraan Jenazah Pasien Covid-19

Rakyat Thailand menganggap bahwa pemilihan perdana menteri Prayuth Chan-ocha menyalahi aturan demokrasi di negaranya.

Diketahui, aksi demontrasi rakyat Thailand telah berlansung selama tiga bulan terakhir sebagai bentuk protes anti-pemerintah.

Sempat terjeda akibat pandemi, kini masyarakat mulai kembali turun ke jalan, menghimpun massa geruduk pemerintah guna mengajukan 10 tuntutan reformasi monarki.

Baca Juga: Bertabur Kemewahan, Bros Mutiara dan Scarf Berhias Kristal Jadi Souvenir Pernikahan Nikita Willy

Alhasil, potret demontrasi tersebar di beragam platform media sosial. Sehingga pemerintah meminta segera memberhentikannya, atau melanjutkan aksi itu ke jalur hukum.

Potret demonstrasi pemuda Thailand yang banyak disorot warganet adalah gerakan kompak salam 3 jari seperti adegan di film Hunger Games

Aksi itu sebagai penanda adanya pembangkangan terhadap rezim militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta, menangguhkan demokrasi dan membatasi kebebasan berekspresi. 

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Harga Vaksin Covid-19 di Brasil hanya Rp28 Ribu? Simak Kebenarannya

Namun, berdasarkan rilis kantor berita Reuters, mengungkap bahwa pemerintah justru berlaku diluar norma. Para demonstran ditindak secara brutal, diseret, dipukul dan disemprot gas air mata.

Kini, pemerintah Thailand terus mengeluarkan beragam cara untuk menghentikan aktivitas demo dengan dalih Covid-19. Sebuah dekrit darurat melarang adanya pertemuan lebih dari lima orang telah dirilis.

Baca Juga: Baru Dibuka Kembali Usai 7 Bulan, Taj Mahal Langsung Dikelilingi Debu dan Gas Beracun akibat Polusi

Selain menghentikan aksi demontrasi yang dilabeli berakhir ricuh, pemerintah juga membungkam wartawan dengan meluncurkan pembatasan media.

Segera setelah tindakan tersebut diberlakukan, polisi anti huru hara 'membersihkan' pengunjuk rasa dari Gedung Pemerintah dan setidaknya tiga pemimpin protes ditangkap.

Reaksi pemerintah

Istana Kerajaan tidak mengomentari protes dan tuntutan reformasi meskipun permintaan diajukan rakyat berulang kali.

Baca Juga: ShopeePay Hadirkan ShopeePay Talk: Bertumbuh Lewat Bisnis Delivery Online Bersama Steak 21

Adapun pendemo yang ikut andil dalam aksi tersebut, yakni sebagian besar pelajar dan remaja.

Kelompok-kelompok inti termasuk Gerakan Pemuda Bebas, yang berada di belakang protes besar pertama pada bulan Juli dan Front Persatuan Thammasat dan Demonstrasi, sebuah kelompok mahasiswa dari Universitas Thammasat Bangkok, yang telah memperjuangkan seruan untuk reformasi monarki.

Lalu, gerakan Siswa SMA, yang juga mengupayakan reformasi pendidikan.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Harga Vaksin Covid-19 di Brasil hanya Rp28 Ribu? Simak Kebenarannya

Sebagian besar pemimpin protes berusia 20-an meskipun salah satu tokoh paling terkemuka, pengacara hak asasi manusia Arnon Nampa, berusia 36 tahun.

Reformasi yang diinginkan para pendemo

Para pengunjuk rasa ingin membalikkan peningkatan kekuatan konstitusional raja pada 2017, yang dibuat setahun setelah ia menggantikan mendiang ayahnya yang sangat dihormati, Raja Bhumibol Adulyadej.

Aktivis pro-demokrasi mengatakan Thailand mundur dari monarki konstitusional yang didirikan ketika kekuasaan absolut kerajaan berakhir pada 1932.

Baca Juga: Miliki Banyak Khasiat, Berikut Penjelasan Cara Menggunakan Cuka Apel dan Efek Sampingnya

Mereka mengatakan monarki terlalu dekat dengan tentara dan berpendapat bahwa ini telah merusak demokrasi.

Para pengunjuk rasa juga berupaya membatalkan hukum lese majeste yang melarang penghinaan terhadap raja.

Mereka ingin raja melepaskan kendali pribadi dia mengambil alih kekayaan istana yang diperkirakan mencapai puluhan miliar dolar, dan beberapa unit tentara.***

Editor: Ayunda Lintang Pratiwi

Sumber: Twitter Reuters AFP

Tags

Terkini

Terpopuler